Tuesday, July 8, 2008

Kesaksian

THE PASSION OF JIM CAVIEZEL

Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion Of Jesus Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film itu.

JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.

Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.

“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.

Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.

Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.

Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.

Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.

Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!

Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.

Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.

Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.

Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.

Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.

Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.

Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.

Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).

“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.

Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.

Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.

Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.

Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.

Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.

“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”

Tuhan Selamatkan Aku Dari Kecelakaan Maut

Sumber Kesaksian: Hermanus Handoko


Saya adalah Lettu Teknik Hermanus Handoko yang dilahirkan pada tanggal 6 April 1961 dalam kalangan orang Jawa di daerah sejuk dekat rumah retreat Katolik Lavena, Pring Sewu kampung Padang Bulan Bandar lampung. Saya putra kedua dari delapan bersaudara. Ayah saya bernama Wakidi dan ibu saya yang sudah almarhum Aluwisia Sarijah.

Saya menikah pada tanggal 7 Nopember 1990 dengan seorang gadis yang bernama Agnes Dwi Kasih Sungkowowati di Bandar Lampung. Perjumpaan kami terjadi di daerah candi Prambanan yang diawali dengan kegiatan gereja. Pada waktu itu saya adalah seorang pemuda Katolik yang rajin dan Agnes adalah pemudi GKJ Prambanan. Kami sempat berpisah beberapa tahun lalu berjumpa lagi di Bandung. Ketika itu Agnes telah selesai studi di Yogyakarta dan melamar untuk menjadi Wanita Angkatan Udara (WARA) TNI. Saat berjumpa lagi itulah saya jatuh cinta kepada Agnes.

Saat ini kami telah menikah dan dikaruniai Tuhan dua putra yaitu Stevanus Wiga, 14 tahun dan Andreas Dani, 10 tahun. Kami tinggal di rumah dinas TNI AU, Husein Sastranegara sejak tahun 1990 sampai sekarang. Saya sehari-hari bekerja di Landasan Udara Sulaeman bagian Operasi Sibinpot Dirga dan isteri mengabdikan diri sebagai guru agama di Sekolah Menengah Pertama Sumatera 40 Bandung.

24 Februari 2006

Pada hari Jumat sore tanggal 24 Februari 2006 Hermanus menerima sms dari alm. Kapten Pilot Arif Mulyawan, penerbang IPTN yang mengajaknya terbang ke Bali.
“Sore itu saya mendapat sms untuk membantu rekan saya untuk mengisi bahan bakar pesawat mengingat pesawat itu akan digunakan untuk penerbangan ke Bali.”

Hermanus segera berangkat menuju ke lokasi untuk pengecekan dan pengisian bahan bakar pesawat. Setelah mengurus surat-surat, sore itu juga Hermanus mengisi bahan bakar pesawat karena hanya tinggal 60 liter.

Keesokan paginya...

Keesokan harinya pada jam setengah enam pagi alm. Kapt. Pilot Arif menghubungi Hermanus untuk kepastian keberangkatan mereka ke Bali.
“Pagi-pagi sekitar ½ 6 saya mendapat sms dari alm.Kapt. Pilot Arif yang mengatakan ‘Pak, kita jadi berangkat ke Bali sekarang’. Saya dengan istri cepat-cepat melakukan persiapan untuk berangkat ke bandara. Saya cek pesawat itu kembali karena sudah semalam. Dari bahan bakar, oli sampai keadaan posisi pesawat ternyata bagus.”

Sebelum ke Bali pesawat yang ditumpangi Hermanus akan ke Jakarta terlebih dahulu. Pesawat dengan tipe super rable dengan tipe 2500 tersebut ditumpangi oleh Arif sebagai pilot, Hermanus sebagai mekanik dan seorang teman Arif yang kebetulan ikut ke Jakarta.

“Saya meminta isteri untuk mengantarkan saya ke bandara. Sebelum keberangkatan saya, isteri mengatakan kepada saya saat itu ‘Tuhan menyertaimu pak’. Saya sendiri berangkat terasa ringan dan sepertinya tidak ada beban. Saya merasakan senang sekali karena sebagai mekanik pesawat, saya ditugaskan untuk menguji kelayakan seluruh badan pesawat, bahan bakar, oli dan lain-lain. Setelah semuanya diperiksa dan pesawat itu laik terbang, kami bertiga (saya, alm. Arif Mulyawan dan alm. Imam Santoso) berangkat dari Bandung (take off) menuju bandara Halim di Jakarta pada jam 07.30 WIB, dan kami tiba di Jakarta pada jam 08.10 WIB.”

Ketika sedang landing, Hermanus sempat merasakan suatu firasat buruk.
“Pada saat mau landing, landasan itu tertutup oleh awan hitam. Saya juga sempat kaget. Sambil belok ke kanan untuk menghindar, kami masih bisa lihat landasan. Langsung kami masuk menuju landasan untuk landing.”

Setibanya di Jakarta, dilakukan kembali pengisian bahan bakar pesawat.
“Saat itu bahan bakarnya memang sudah minim sekali sehingga didatangkanlah tanker untuk pengisian bahan bakar kembali.”

“Sesampainya di bandara Halim seperti biasa saya langsung menelepon isteri untuk memberitahukan kalau saya sudah mendarat dengan selamat dan mengabarkan akan berangkat ke Semarang. Setelah itu kami ditambah satu orang lagi yaitu Ir. Firman Sunoto, menjadi berempat melanjutkan perjalanan dari bandara Halim ke bandara Ahmad Yani di Semarang pada jam 08.40 WIB, dimana pada waktu itu kondisi cuaca sangat cerah dan pesawat yang kami tumpangi dapat take off dengan baik.”

Di Udara Mesin Sudah Mati

Dalam penerbangan ke Semarang, kemudi dikendalikan oleh co-pilot.
“Supaya familiar. Dengan rencana setelah sampai sana, co-pilot ini nanti yang membawa pesawatnya kembali ke Jakarta. Pilotnya itu cuma memonitor saja.”

Pesawat menyusuri daerah Saguling dengan ketinggian 5000-5500 feet.
“Kami melihat ke kiri dan kanan untuk mengecek kondisi pesawat siapa tahu ada kelainan baik dari wing atau mungkin ada kebocoran dari bahan bakar tapi ternyata tidak ada. Jadi kami berjalan sambil bercanda, menghilangkan ketegangan.”

Ketika sedang melintasi daerah Kalijati, Hermanus sempat bertanya pada pilot.
“’Kalijati sudah lewat belum?’ ‘Sudah pak, itu di belakang.’ Tadinya rencananya seandainya belum lewat, kami akan mengadakan pendaratan dulu untuk cek mesin.”

Dalam hitungan detik setelah Hermanus bertanya, suatu peristiwa yang paling mengerikan akan dialaminya.
“Mesin itu mati. Co-pilotnya agak kebingungan akhirnya diambil alih sama pilot. Distater lagi di atas tidak mau, dicoba sampai tiga kali tetap tidak mau. Akhirnya kita putuskan untuk landing secara darurat.”

“Kejadiannya begitu cepat dan saya hanya bisa pasrah. Ketika mesin pesawat mati, semua penunjuk seperti ketinggian dan lainnya berada di posisi nol. Pilot sempat mengingatkan awak lainnya untuk waspada dan meminta masing-masing memeriksa sabuk pengaman untuk pendaratan darurat. Saya yang duduk di bangku belakang berdampingan dengan Ir. Firman Sunoto hanya bisa berdoa memohon perlindungan dari Tuhan karena saya pada waktu itu tidak tahu apa yang mesti saya lakukan. Saya mencoba meraih apa saja yang bisa dijadikan pegangan.”

Pesawat akhirnya jatuh menghujam bumi di area perkebunan dan patah menjadi tiga bagian. Pesawat dengan tipe Cessna SR2500 itu jatuh didaerah Cibogo, Subang. Pilot dan co-pilot meninggal dunia seketika sedangkan Hermanus dan rekannya yang lain hanya mengalami luka-luka.

Tuhan Masih Sayang Kepada Saya

Beruntunglah Hermanus karena tidak ada luka serius yang terjadi padanya.
“Saya hanya mendapatkan luka kecil di bagian lengan kiri dan di pipi. Saya sempat pingsan ketika pesawat menghantam tanah dan saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saya baru tersadar ketika saya sudah berada beberapa meter dari jatuhnya pesawat, dan ada seorang bapak memapah saya kemudian menanyakan apakah saya masih bisa dibonceng naik motor untuk dibawa ke puskemas. Saya menjawab ‘bisa’ kemudian saya dilarikan ke puskemas Cibogo Subang sekitar jam 09.20 WIB dengan dibonceng sepeda motor. Sorenya sekitar jam 17.00 WIB saya dijemput komandan dan staf dari Lanud. Sulaeman Bandung kemudian dibawa ke Rumah Sakit TNI AU, dr. Salamon Ciumbeluit Bandung. Setelah kejadian itu saya sangat bersyukur sekali karena Tuhan masih memberi kesempatan kepada saya untuk menikmati hidup bersama keluarga, dan saat ini saya bisa berkata ‘Tuhan masih sayang pada saya’.”


Saat Hermanus diperhadapkan kepada kematian, dia hanya bisa berdoa dan berharap kepada Yesus.
“Saya cuman bisa berdoa, ‘Tuhan, tolong saya.’ Dengan kecelakaan ini saya masih diselamatkan dengan kondisi yang boleh dikatakan masih fit, bagi saya itu suatu mukjizat yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya sangat-sangat berterima kasih kepada Tuhan karena Tuhan telah menyelamatkan saya. Saya yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus itu akan selalu melindungi dan menyertai saya di tiap langkah hidup saya.”

Makin Berkomitmen Kepada Tuhan

“Saya tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan karena saya sudah diselamatkan dari maut. Saya percaya ini semua adalah campur tangan dan Kuasa Tuhan yang bekerja dalam hidup saya. Sejak kejadian itu dimana Tuhan telah menolong saya, saya berjanji akan lebih rajin lagi mengikuti kegiatan gereja. Puji Tuhan kalau saat ini saya boleh dekat dengan Tuhan melalui Gereja Roma Katolik Bunda Tujuh Kedukaan Pandu Bandung. Saya juga melayani sebagai ketua kring lingkungan Santa Cicilia Sukasari. Seandainya saya ditanya apa masih ingin terbang lagi? Saya akan menjawab ‘Ya’ karena saya tidak perlu takut karena Tuhan Yesus beserta dengan saya dan DIA-lah yang berkuasa atas hidup saya.”(les)

Dan Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu. Tuhan menyertai kamu sekalian. (II Tesalonika 3:16)